Saatnya Kembali ke Kenyataan

Sukacita selama hampir satu bulan itu berakhir sudah. Pesta sepak bola Piala AFF yang semula membuat bangsa Indonesia membubung ke langit ketujuh berakhir antiklimaks. Tim Garuda Indonesia yang begitu perkasa sejak babak penyisihan sampai semifinal tak sanggup membuat sejarah. Apa boleh buat, Malaysia-lah yang mengukir tinta emas, untuk pertama kalinya menjadi yang terbaik di festival sepak bola bangsa-bangsa Asia Tenggara ini.


Meski pahit, rasanya kita tak perlu larut dalam kesedihan. Sebaliknya, kegagalan untuk keempat kalinya di partai puncak Piala AFF ini harus menjadi bahan pembelajaran bagi seluruh insan sepak bola, utamanya para pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), yang paling bertanggung jawab terhadap prestasi tim nasional Indonesia. Bukan hanya itu, kegetiran di Stadion Utama Gelora Bung Karno juga harus menjadi pelajaran bagi oknum-oknum politisi yang semula ingin mendompleng euforia yang diledakkan pasukan Merah-Putih asuhan Alfred Riedl.
Sebenarnya, di luar dua hal di atas, terlalu banyak hal harus dijadikan bahan renungan oleh persepakbolaan nasional. Di lain pihak, euforia yang begitu hebat seharusnya dijadikan momentum kebangkitan prestasi sepak bola nasional, yang sudah begitu lama mendambakan gelar juara di tingkat internasional. Belajar dari pengalaman Piala Asia 2007, saat pasukan Garuda Indonesia gagal tetapi tetap mendapat acungan jempol, pada akhirnya menang atau kalah bukan hal paling penting. Pada ujungnya, juara tidak lagi sebuah tujuan akhir. Jauh lebih penting, para pemain dan tim pelatih sudah berbuat yang terbaik. Kegagalan ini hanya sebuah keberhasilan yang tertunda.

Di luar stadion, sulit untuk tidak terharu menyaksikan para pendukung Merah-Putih tetap menari-nari, meneriakkan yel-yel ”Indonesia... Indonesia!” Hal itu bukan karena Firman Utina dan kawan-kawan berhasil membalas kekalahan di Bukit Jalil, tapi lebih karena pasukan Merah-Putih telah tampil gagah berani, mengeluarkan semua kemampuannya, dan terlebih mereka menunjukkan pantas membela nama Indonesia dengan memakai kostum ”sakral” berlambang Garuda.

Bagi para pengurus PSSI, inilah sebenarnya momen untuk kembali ke kenyataan, kembali ke Bumi, setelah selama dua pekan seakan-akan lupa akan segala tugas pokok pembinaan sepak bola. Bagaimanapun, kompetisi yang berkualitas adalah kunci dari sukses tim nasional. Kompetisi yang bergulir saja secara teratur belumlah cukup untuk membawa Indonesia ke tingkat elite percaturan sepak bola Asia Tenggara, apalagi Asia, apalagi dunia. Kompetisi yang bergulir haruslah mempunyai mutu yang baik, dan tiap musim menunjukkan peningkatan kualitas.

Banyak hal yang menopang kualitas kompetisi, tetapi yang paling utama adalah pembinaan usia dini. PSSI tak perlu malu untuk mengakui bahwa selama ini abai terhadap youth development. Ratusan miliar rupiah tiap tahun berputar dalam persepakbolaan nasional, tetapi nyaris tak ada yang menetes ke pembinaan usia dini. PSSI terlalu asyik masyuk mengurusi kompetisi paling top, Liga Super Indonesia, yang memang seksi, bergelimang uang, berlimpah sponsor, bermewah dengan liputan media. Sementara kompetisi usia dini bukan cuma anak tiri, tapi ibarat anak terbuang yang menggelandang di kolong jembatan.

PSSI lebih suka jalan pintas, mencari pemain dengan jalan ”berburu” ke daerah-daerah dan mencomotnya begitu saja tanpa tahu betul rekam jejak pemain muda. Tanpa ada kompetisi, pemain muda yang diambil tidak terasah secara teknis, apalagi mental. Mereka kemudian dikumpulkan dalam proyek-proyek jangka pendek tanpa konsep yang benar-benar matang. Proyek Uruguay, misalnya, hanya mengulang kegagalan lama yang tidak membuahkan hasil, seperti Primavera dan Barreti. PSSI tidak pernah belajar dari pengalaman-pengalaman pahit tersebut.
Tanpa konsep pembinaan usia yang benar-benar diwujudkan dalam kompetisi berjenjang, pemain-pemain yang kemudian tampil di tingkat senior bukanlah atlet yang benar-benar matang. Ketika mereka tampil di liga senior, kemampuan mereka barangkali hanya 20 persen atau 30 persen dari kapasitas sebenarnya. Walhasil, tim nasional, terutama yang senior, tidak pernah memberikan prestasi yang membanggakan di tingkat internasional.

Ada baiknya, jajaran pengurus PSSI merenung sejenak. Mulailah bekerja dengan hati untuk menggerakkan roda kompetisi usia dini. Mulailah mencetak pelatih-pelatih berkualitas tinggi untuk menangani youth development. Sadarlah bahwa tak ada jalan pintas dalam sepak bola. Semua hasil terbaik harus dicapai dengan kerja keras, keringat dan pengorbanan.

Dalam pergelaran Piala AFF ini, PSSI sebenarnya sempat ”kembali ke jalan yang benar”, dengan membiarkan Alfred Riedl memilih sejumlah pemain muda untuk menyegarkan tim nasional. Pelatih asal Austria yang kenyang pengalaman menangani tim Asia Tenggara ini juga diberi keleluasaan untuk mengelola timnas secara mandiri, tanpa intervensi petinggi-petinggi PSSI—sesuatu yang sangat biasa dilakukan di masa lalu.

Namun, setelah sukses menembus final dengan lima kemenangan beruntun, otoritas Riedl dirampas. Timnya diobok-obok, dipolitisasi, dan ditunggangi demi pencitraan individu, kelompok, dan partai. Meski begitu, Riedl tetap mempersiapkan timnya dengan serius menjelang laga final pertama di Bukit Jalil. Pria yang hanya punya satu ginjal itu kemudian tidak tahan. ”Federasi mengganggu persiapan tim saya,” ujarnya di Bukit Jalil.

Maka, kalaupun ada satu-satunya hal yang patut disesali dari kegagalan ini adalah perjuangan hebat Firman cs telah dinodai oleh ambisi kotor para politisi. Selebihnya, kita patut bangga pada pasukan Merah-Putih yang telah berjuang keras. Kita harus memberikan apresiasi kepada penonton yang terus memberikan dukungan meski mereka sudah teraniaya saat mengantre tiket. Kita harus berterima kasih kepada Riedl dan timnya yang memberikan energi dan nuansa baru pada tim nasional.

Bagi bangsa Indonesia, inilah saatnya kembali ke kenyataan, untuk menyadari masih banyak pekerjaan rumah pembinaan sepak bola yang harus dikerjakan. Marilah kita bekerja keras!

Sumber: Kompas