Makna apalagi yang bisa kita ambil dari hasil pertandingan putaran pertama final Piala AFF 2010 antara Malaysia dan Indonesia? Tiga gol tanpa balas yang berhasil dilesakkan anak buah Rajagopal ke gawang Markus Horison membantu kita, meminjam frasa di lagu KLA Project, "sudi, turunlah ke bumi".
Sebelum pertandingan final berlangsung, euforia mewabah dimana-mana, merasuki kawula alit sampai lapisan elit. Kalangan kawula alit dan bahkan kaum hawa yang sebelumnya tidak pernah menonton langsung pertandingan sepakbola di stadion pun rela berjam-jam antri untuk membeli tiket demi menyaksikan laga tim kesayangan mereka.
Sayangnya, kerelaan mereka ini tidak dibarengi dengan profesionalitas penyelenggara dalam mengelola penjualan tiket. Sementara, di sisi lain, lapisan elit, baik elit politik maupun elit olahraga, semuanya seolah berlomba ingin menunjukkan, bahwa dia (mereka) lah yang ikut menjadi faktor penentu keberhasilan tim nasional sepakbola di babak-babak awal Piala AFF 2010.
Lantas tibalah malam naas di Stadion Bukit Jalil itu. Kita dibuat kaget, walau sudah pernah kalah 1-5 di babak penyisihan grup, ternyata Tim Malaysia masih bisa menemukan banyak kelemahan di daerah pertahanan tim nasional kita. Dan terlepas dari insiden sinar laser yang memberi andil pada turunnya konsentrasi para pemain kita, kekalahan 0-3 itu oleh Riedl diakui bukan semata-mata karena insiden tersebut.
Di mata Riedl, gol pertama Malaysia yang dicetak pada menit ke-61 menjadi titik balik ambruknya permainan skuad Garuda. Inilah makna pertama dari kekalahan itu: ojo kagetan, jangan mudah terkejut.
Setelah kekalahan di final leg pertama ini, mestinya dunia sepakbola kita menjadi sadar, tidak ada jalan pintas dalam mendapatkan tim nasional yang tangguh. Naturalisasi, yang sebelumnya dianggap oleh elit PSSI sebagai "panasea”" alias obat segela jenis penyakit dunia sepakbola kita selama periode kepemimpinan Nurdin Halid, ternyata ia hanyalah "placebo" belaka yang hanya mampu memberikan efek (positif) sesaat. Karena hanya "Placebo", ia tidak bisa diharapkan untuk selalu memberikan pengaruh pada setiap situasi dan kondisi yang dihadapi.
Inilah makna kedua dari kekalahan di Stadion Bukit Jalil itu: ojo gumunan. Benar bahwa kehadiran Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim ikut membawa angin segar dalam permainan tim asuhan Riedl. Namun, kita harus bersikap ojo gumunan alias tidak boleh mudah kagum dan terpesona karena suatu saat mereka akan tidak berdaya menghadapi rapatnya barisan pertahanan lawan. Oleh karena itu, kompetisi yang berputar dengan benar dan pembinaan pemain sejak usia dini tetaplah menjadi prasyarat utama muncul dan didapatkannya tim nasional yang benar-benar tangguh yang bisa berjaya di berbagai kejuaraan yang diikutinya.
Makna yang ketiga, ojo dumeh (jangan mentang-mentang), mestinya bisa dijadikan pelajaran buat Nurdin Halid dan para punggawanya di PSSI ataupun juga oleh Menpora. Mentang-mentang tm Nasional sedang berkibar, para pemain itu dilibatkan dan disibukkan oleh hal-hal di luar urusan teknis sepakbola. Tak perlu waktu lama kita sudah bisa melihat hasilnya.
Kini, kita tinggal berharap disisa waktu yang tersedia Alfred Riedl dan para asisten pelatih berhasil membenahi semua kelemahan tim nasional. Selain itu, semoga ada mukjizat saat berlangsung pertandingan kedua di Stadion GBK Senayan pada 29 Desember nanti sehingga Indonesia bisa menjadi Juara Piala AFF 2010.
Terakhir, sekaligus terpenting, kekalahan di putaran pertama pertandingan Final Piala AFF 2010 ternyata bisa menjadi "blessing in disguise" bagi dunia sepakbola kita. Dengan semua peristiwa yang terjadi selama berlangsungnya Piala AFF 2010 ini, dan dengan kinerja seperti yang sudah ditunjukkan pengurus PSSI di masa-masa sebelumnya, mestinya para pemangku kepentingan persepakbolaan nasional sudah bisa mengambil keputusan tentang langkah apa yang terbaik yang bisa diambil demi menyelamatkan masa depan persepakbolaan nasional. Akankah langkah terbaik itu bisa diwujudkan?
Sumber: detiksport.com